Rabu, 17 Juni 2009

Setetes embun di pagi hari

Keindahan pagi sering terlewati. Kumandang azan shubuh menyudahi impian malam. Kokok ayam bersahutan memanggil para pejuang. Terkadang, kicauan burung bernyanyi syahdu membuka hari baru.
Udara segar pagi menyiapkan berjuta energi untuk kehidupan.
Embun di ujung daun, membasahi jendela kaca dan atap rumah kita menunjukkan keindahan hidup. Perlahan namun pasti embunpun memudar menyongsong datangnya sang fajar.

Sungguh, betapa nikmat fragmen kehidupan ini. Hidup akan terus mengalir sampai pada batas yang pasti. Semua keindahan hidup terletak pada genggaman tangan kita. Cerita indahnya kehidupan juga tergantung bagaimana kita menuliskan skenarionya.

Seorang muslim teramat pantas untuk berbahagia. Bagi seorang muslim hidup ini adalah kemenangan. Tidak ada sepenggal kata ’menderita’ atau kata ’pecundang’ dalam kamus kehidupan yang ia buat. Yang ada hanyalah keindahan demi keindahan, kemenangan demi kemenangan, kebahagiaan demi kebahagiaan, walau bagaimanapun keadaan mereka.

Tahukah kita rahasia apa yang membuat hidup seorang muslim begitu mempesona ? Walau setting hidupnya di alam kemiskinan, gubuk derita, kurangnya sandang dan pangan.
Keindahan itu terletak pada pusat hidupnya. Keindahan itu juga ada pada landasannya. Keindahan itu juga ada pada ujung dan impiannya.

Allah SWT berfirman,
”...Ingatlah, hanya dengan menginat Allah hati akan menjadi tenteram”
(Ar-Ra’du : 28)
Rasulullah saw bersabda,
”Sangat mengagumkan urusan (hidup) seorang mukmin itu. Sesungguhnya setiap urusannya menjadi kebaikan baginya. Dan tidaklah yang demikian ini dialami oleh seorangpun kecuali hanya oleh orang yang beriman. Jika dia menerima nikmat, dia bersyukur, maka syukur itu itu menjadi kebaikan baginya. Jika dia menerima keburukan, dia bersabar, maka sabar itu menjadi kebaikan baginya.” (HR Muslim)

berbahagialah menjadi seorang muslim. Bila itu belum anda rasakan, pegang teguh Islam. Jadikan ia prinsip hidup dan bangun cita-cita dan impian hidup di atas azasnya, yaitu Aqidah Islam.

The Power of Muslim

Masih ingat cerita perang Mu’tah ?

Ini adalah cerita perang kolosal dan fenomenal yang menggambarkan bagaimana kekuatan yang dibangun di atas landasan spritualitas mampu mengalahkan pasukan yang hanya mengandalkan kekuatan fisik.

Ini adalah cerita perang antara pasukan muslim yang berjumlah 3.000 orang dengan pauskan koalisi Romawi dan pasukan gabungan kabilah-kabilah Arab yang berjumlah total 200.000 orang? Bisa dibayangkan bagaimana 3 ribu pasukan melawan 200 ribu tentara ? Bayangkan ini adalah perang klasik yang bersenjatakan pedang, tombak panah dan juga tangan kosong. Tidak ada senapan, bom cluster, pesawat, helikopter dan senjata modern lainnya.

Dengan jumlah yang tidak imbang ini wajar muncul nada dan gejala kegelisahan pada sebagian kaum muslimin. Melihat gelagat ini Abdullah bin Rawahah membakar optimisme dengan menyatakan:

”Wahai kaum!Demi Allah, sungguh yang kalian benci untuk kalian keluar adalah meminta mati syahid! Kita tidak memerangi manusia karena jumlah, kekuatan atau banyaknya mereka. Kita tidak memerangi mereka, kecuali karena agama yang Allah memuliakan kita dengannya. Maka majulah, karena di sana ada satu dari dua kebaikan: menang atau mati syahid”.

Kemudian terjadilah pertempuran hebat. Strategipun diatur sedemikian rupa.

Khalid bin Walid, sebagai pimpinan pasukan muslim, membuat taktik seolah-olah pasukan bantuan datang dari Madinah. Apa yang terjadi selanjutnya? Pasukan koalisi musuhpun mundur. Inilah yang dikatakan orang Romawi:

’Jika apa yang telah dilakukan oleh tiga ribu orang pasukan kaum muslimin terhadap kita telah kita lihat, lalu bagaimana jika bantuan pasukan mereka tiba, yang tidak diketahui jumlah dan kekuatannya”.